Batik merupakan salah satu produk tekstil hasil karya
tradisional bangsa Indonesia. Hampir setiapdaerah di Indonesia memiliki hasil
karya batik dengan kekhasan motifnya. Ini merupakan salah satu dari sekian
banyak ragam kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan dan dijaga kualitasnya.
Pengukuhan batik sebagai warisan budaya tak benda oleh United Nations
Educational, Scientific, and CulturalOrganization (UNESCO) tahun 2009
memberikan kebanggaan sekaligus tantangan bagi pemangku kepentingan di
Indonesia. Bukan saja sebagai warisan budaya tetapi batik memiliki nilai
ekonomi dan dapat menghidupi para pengelola usaha, perajin, maupun pedagang.
Disadari bahwa batik dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menciptakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Untuk itu, pelestarian dan
perkembangan usaha batik harus meningkatkan hasil karya dengan kualitas dan
ciri khas daerah agar mendapat dukungan dari semua pihak.
Batik Aceh adalah
suatu produk kerajinan kain yang memiliki gambar atau motif yang memiliki ciri
khas kebudayaan Aceh. Gambar atau motif yang dipakai memiliki makna tersendiri
berdasarkan kebudayaan warisan endatu. Sehingga hanya di masyarakat aceh pula
yang memiliki passion yang tinggi yang dapat membuat pola motif dan design yang
dimodifikasi tanpa menghilangkan unsur dasar keunikan ragam etnik aceh.
Untuk meningkatkan daya saing usaha nasional agar tidak
semakin merosot, Indonesia harus mengantisipasi kelemahan kompetensi usaha
tanah air agar dapat lebih ditingkatkan baik kompetensi perusahaan maupun
kompetensi sumber daya manusianya. Beberapa kelemahan kompetensi yang mengemuka
seperti banyaknya perusahaan yang tidak mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Oleh sebab itu, perkembangan teknologi yang menyentuh pada perusahaan
tradisional sebagai kekuatan lokal belum sepenuhnya dapat diikuti dengan
kemampuan dan keterampilan tenaga kerjanya. Hanya usaha yang memiliki daya
saing yang tinggi yang akan mampu bertahan dan berkembang menghadapi persaingan
global (Nugrayasa, 2014:47).
Di sisi lain sosial kultural dan daya saing juga
mempengaruhi perkembangan produktifitas batik di beberapa wilayah yang saat ini
memproduksi batik cap dan tulis seperti Banda Aceh, Aceh Besar dan Lhoksemawe
kurang sesuai untuk mengembangkan usaha batik, dimana masyarakat aceh sebagian
besar memiliki harta pusaka untuk digarap sebagai lahan pertanian atau belum
terbiasanya mengenal batik sehingga belum memiliki passion dalam membatik,
bahkan usaha batik saat ini juga belum stabil permintaannya sehingga membuat
masyarakat sulit bertahan jika hanya mengandalkan membuat batik. Salah satunya
adalah batik yang dihasilkan adalah batik cap dan batik tulis dengan pengerjaan
yang masih traditional sehingga membutuhkan waktu yang lama, dan harganya juga
relatif tinggi, belum sesuai dengan kantong masyarakat menengah kebawah.
Batik yang lebih murah banyak diproduksi di Jawa atau daerah
lain disebabkan oleh proses produksi menggunakan mesin, dengan mesin proses
produksi tidak akan sulit dan lama sehingga biaya produksi tidak mahal dan
berbanding lurus dengan harga kain atau bahan lebih murah pula. Sedangkan batik
tulis seperti di Aceh dalam proses pembuatan atau produksinya membutuhkan waktu
lama dan ketelitian, batik tulis ini membutuhkan pengrajin yang telaten dalam
melukis batik-batik di atas kain agar terlihat indah dipandang mata. Dalam
proses pembuatan kain batik seorang pengrajin harus melakukannya dengan fokus
pada satu kain saja, sehingga seorang pengrajin tidak dapat membuat kerajinan
batik sekaligus dua atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Satu kain batik
tulis bisa saja terselesaikan oleh satu orang pengrajin dalam kurung waktu satu
minggu. hal inilah yang menyebabkan batik tulis mahal di pasaran.
Kenyataan bahwa mahalnya batik tulis telah menurunkan
peminat pembeli dalam dunia pasar, ini terjadi karena target pasar menginginkan
barang yang kualitas tinggi tetapi harga semuruh-murahnya, sehingga permintaan
akan melambung tinggi. Jika pengrajin batik ini menemukan solusi dari hambatan
dalam mengembangkan usahanya dan dapat mencapai target pasaran maka permintaan
terhadap batik tulis dapat melambung tinggi, sebagaimana permintaan batik-batik
yang dipesan oleh pemerintah daerah ke Jawa tersebut. Pengrajin batik di
Panyakalan mengatasi masalah mahalnya batik tulis dengan cara membuat bahan dan
baju batik dengan cara cetak, pada saat ini mereka memproduksi lebih banyak
jenis batik cetak dibandingkan jenis batik tulis tetapi omset tetap mengalami
penurunan.
Ada beberapa tingkatan bahan baku batik mulai dari cotton,
dan sutera yang digarap karena bisa di lakukan pewarnaan alam. Namun harganya
tentu relatif mahal karena bahan bakunya berasal dari pulau jawa. Namun, batik
dengan bahan polly cotton, hingga polister lebih laku dipasaran karena harganya
lebih murah, namun produk tersebut berasal daru luar aceh. Sehingga tetap saja,
apabila batik cap dan batik tulis di produksi di aceh, belum dapat memnuhi
permintaan masyarakat. Disi lain, Saat
ini, Aceh memiliki permasalahan yang sangat komplit salah satunya adalah
kemandirian secara fiskal yang erat korelasinya dengan pengangguran. Sehingga
apabila dibuka pabrik bahan dan pabrik produksi batik, maka akan menyerap
tenaga kerja, dan aceh perlahan bergerak menuju kemandirian secara fiskal dari
kebutuhan sandang dan dapat mengurangi pengangguran
Atas dasar itu, kami CB Management berusaha memulai
melakukan perencanaan matang untuk membuka pabrik bahan baku, rajut, benang
serta garment skala kecil dengan segala
bidang yang telah direncanakan dibuka di Majalaya, Bandung dan Tasikmalaya,
sehingga tempo masa 2 tahun kami dapat membuka hal yang sama tersebut di Aceh
dengan izin yang dimudahkan serta tempat yang dialokasikan oleh pemerintah agar
tidak mengganggu masyarakat mengingat setiap pabrik menghasilkan limbah.