Selasa, 01 Maret 2011

QADHA SHALAT MENURUT EMPAT MAZHAB




FIQH MUQARAN 




QADHA SHALAT MENURUT EMPAT MAZHAB

Di

S
u
s
u
n

Oleh :

Kelompok  VIII   :        Mihalul Abrar
                             Irwansyah
                             Jumahdi Andipa
                            

Prodi                 : PAI
Semester / Unit  : VII / 1


Dosen Pembimbing :
Bpk. Muhajir, S.Ag, LLM

 







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
ZAWIYAH COT KALA LANGSA
TAHUN AKADEMIK 2010 - 2011
KOTA LANGSA


KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Fiqh Muqaran  ini  dengan  tema  Qadha Shalat menurut Empat Mazhab”. Shalawat dan salam kami junjungkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Makalah Fiqh Muqaran ini merupakan tugas yang harus diselesaikan oleh mahasiswa STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. Untuk menambah wawasan, pengalaman dan keahlian dalam pemahaman studi Fiqh Muqaran yang diharapkan menjadi tenaga pendidik yang professional dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang selama ini telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian makalah ini.
Dalam penyelesaian makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi bahasa maupun susunan kalimatnya. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penyelesaian makalah dimasa yang akan datang.
Harapan kami semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami pribadi maupun pembaca, khususnya bagi mahasiswa STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa ditahun berikutnya.

                                                                                                        


                                                                                                        
                                                                                                        



DAFTAR ISI


Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................      i
DAFTAR ISI ......................................................................................................     ii
BAB    I.       PENDAHULUAN ........................................................................     1
                     A.  Latar Belakang .........................................................................     1
BAB    II.     PEMBAHASAN ...........................................................................     2
                     Qadha Shalat menurut Empat Mazhab...........................................     2
                     A.  Hal yang Menggugurkan Shalat ..............................................     4
                     B.  Hal yang Boleh Mengakhirkan Shalat......................................     3
                     C.  Dalil Hadits ..............................................................................     3
                     D.  Qahda Lewat Waktu .....................................................................             4
                     E.   Wajib Qadha yang Tinggal.......................................................     5
                     F.   Tidak Wajib Qadha bagi yang Sengaja Meninggalkan Shalat..     6
                     G.  Paparan Ibnu Taimi’ah..............................................................     7
                     H.  Qadha Tidak Wajib Bagi Wanita Haid. ...................................     7
                     I.    Cara Mengqadha Salat..............................................................     8
BAB    III.    PENUTUP .....................................................................................   12
                     A.  Kesimpulan ..............................................................................   12
                     B.  Kritik Dan Saran ......................................................................   13
DAFTAR PUSTAKA                        14



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kewajiban shalat adalah harga mati yang tak dapat ditawar oleh kondisi apapun selain uzur yang ditetapkan oleh syariat, seperti wanita dalam keadaan haid, nifas, orang gila, mabuk, anak-anak,orang tua yang sudah pikun.
Islam itu tidak pernah memberatkan pemeluknya. Dan salah satu kemudahan diberikan pula pada salah satu ibadah wajib yaitu Shalat. Salah satunya dengan Qadha.
Para ulama sepakat bahwa barang siapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menqadha'nya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Sedangkan wanita haid dan nifas tidak wajib mengqadha’nya walaupun waktunya luas. Sebab kewajiban shalat gugur dari mereka. Mereka, jika tidak wajib mengerjakan secara tepat waktu maka tidak wajib pula mengerjakan secara qadha'. Dan terdapat perselisihan pendapat tentang kewajiban qadha' atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
BAB II
PEMBAHASAN
SHALAT QADHA' MENURUT EMPAT MAZHAB
Shalat fardhu atau Shalat lima waktu wajib dilaksanakan tepat pada waktunya, berdasarkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’: 103).
Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan (uzur), maka ia berdosa. Tetapi, jika dia mengakhirkannya karena suatu halangan, tidaklah berdosa. Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban Shalat sama sekali dan ada pula yang tidak menggugurkannya sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.
A.  Hal-Hal yang Menggugurkan Shalat
Ada sejumlah halangan atau uzur yang dapat menggugurkan Shalat dari seseorang, yaitu :
1.      Haid dan Nifas
Sabda Rasul saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, “Jika tenyata darah yang keluar itu haid, maka hentikanlah Shalat.”
2.Gila
sabda Rasulullah saw, “Beban taklif itu diangkat (oleh Allah) dari tiga golongan: orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai dia sadar kembali.” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Hakim).
3.Pingsan.
Kewajiban Shalat akan gugur dari orang yang pingsan jika pingsannya berlangsung dalam dua waktu Shalat yang bisa dijamak, seperti seseorang pingsan sebelum masuk waktu Dzuhur sampai dengan matahari terbenam.
4.Murtad
Seseorang yang murtad (keluar dari Islam) kemudian masuk Islam kembali, maka hukumnya sama dengan orang kafir asli, yakni dia tidak wajib mengqadha Shalat. Tetapi, menurut ulama Syafi’i ia wajib mengqadha semua Shalat yang ia tinggalkan ketika murtad sebagai hukuman kepadanya.
B. Hal-Hal yang Membolehkan Mengakhirkan Shalat
       1. Tidur 2. Lupa
C.  Dalil Hadits:
Adapun halangan yang membolehkan seseorang mengakhirkan Shalat dari waktunya, dan tidak berdosa karenanya ialah tidur, lupa, dan lalai.
1. Diterima dari Abu Qatadah, para sahabat menceritakan kepada Rasulullah saw perihal tidur mereka yang menyebabkan tertunda Shalatnya, maka Rasul bersabda, “Sesungguhnya tidaklah termasuk keteledoran karena tidur, tetapi keteledoran itu di waktu terjaga. Karena itu, jika seseorang di antaramu lupa Shalat atau tertidur hingga meninggalkan Shalat, hendaklah ia melakukannya bila telah ingat atau sadar kembali.” (HR Nasa’i dan Timidzi seraya menyatakannya sebagai hadis yang sahih).
2. Dari Anas ra, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa lupa mengerjakan Shalat, hendaklah mengerjakannya bila telah ingat, dan selain itu tidak ada kewajiban kaffarat yang lain.” (HR al-Khamsah/lima imam hadis).
3. Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, “Bila seseorang di antaramu tertidur hingga meninggalkan Shalat atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakannya jika telah ingat, karena Allah berfirman, ‘dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku’.” (Thaha: 14).
4. Dari Abu Qatadah ra, “Pada suatu malam kami bepergian bersama Rasulullah saw, salah seorang di antara kami berkata, ‘Tidakkah lebih baik kita beristirahat ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Saya khawatir kalian akan tertidur sehingga meninggalkan Shalat’. Bilal berkata, ‘Saya akan membangunkan kalian,’ Kemudian tidurlah semuanya. Sementara itu, Bilal menyandarkan punggungnya pada kendaraannya dan nampaknya ia tidak kuat menahan kantuk hingga akhirnya ia tertidur. Kemudian Nabi saw bangun di saat matahari telah naik tinggi, maka beliau bersabda, ‘Hai Bilal mana janjimu?’ Sungguh, saya tak pernah mengalami seperti ini’, jawab Bilal. Nabi bersabda lagi, ‘Allah mencabut roh-roh kalian kapan saja Dia mau, Dia akan mengembalikannya kepadamu kapan saja Dia mau. Hai Bilal, berdirilah dan serukanlah azan Shalat untuk orang banyak’. Kemudian, beliau berwudhu. Ketika matahari telah tinggi dan bersinar terang beliau Shalat dengan berjama’ah bersama mereka.” (HR al-Khamsah, dan redaksi ini adalah redaksi Bukhari dan Nasa’i). Menurut riwayat Ahmad orang-orang berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah sebaiknya Shalat ini kita kerjakan besok pada waktunya?” Rasul menjawab, “Bukankah Allah telah melarangmu melakukan riba lalu akan menerimanya darimu?”
D.  Qadha lewat waktunya krn uzur: tidur atau lupa
Apabila seseorang mengakhirkan Sholat hingga lewat waktunya, kerana uzur seperti tidur atau lupa, maka wajiblah baginya untuk men-qadla Sholat yang ditinggalkan tesebut. Dan apabila ia meninggalkan Sholat dengan sengaja dan tanpa uzur, maka itu termasuk perbuatan ma’siat, dan wajib baginya meng-qadla Sholat tersebut dan bertaubat.
Dalam sebuah hadist riwayat Muslim, dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda :”Barang siapa tertidur dan meninggalkan Sholat, maka hendaklah ia bergegas Sholat ketika ingat”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal “Berjaga-jagalah malam ini”, kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga. Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada Bilal, “Hai Bilal”, kemudian Bilal menjawab “telah menimpa padaku seperti yang menimpa padamu ya Rasul”(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW berkata pada para sahabat “Tambatkan tunggangan kalian”, kemudian para sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat (qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
E.  Wajib qadla shalat yang ditinggalkan
Ini Menurut Pendapat empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dan berdasarkan perintah dan tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Pandangan yang mengatakan tidak wajib qadha’ adalah pendapat Imam Ibn Taymiyah, Ibn Hazmin, ia juga diamalkan oleh Umar bin Khattab, Ibn Umar, Umar abd Aziz, Ibn Sirin, dan lain-lain. Hujah mereka: Islam telah mewajibkan solat dan tidak boleh menangguhkannya walaupun sakit, musafir dalam peperangan; ditegaskan oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha’ solat yang tertinggal, cukup dengan taubat dan solat sunat yang banyak untuk menggantikannya.
Orang-orang yang mewajibkan qadha’ berhujjah bahwa jika qadha’ ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma’afkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dima’afkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib pada perang Khandaq. Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar lupa, tapi toh tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban qadha’ ini ialah Abu Umar bin Abdul-Barr.
F.  Tidak Mewajibkan Qadha bagi yg menunda shalat dengan sengaja
Golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim menyebutkan berbagai macam dalil untuk menolak alasan yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah apa yang dapat di pahami dari hadits ini, bahwa sebagaimana yang dituturkan, kewajiban qadha’ ini tertuju kepada orang yang lupa dan tertidur. Berati yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah syari’at itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal seperti Jum’at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda hingga keluar dari waktunya tanpa alasan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar”, sekiranya shalat Ashar itu dikerjakan setelah Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu orangnya lebih mendapatkan shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu raka’at atau kurang dari satu raka’at atau dia sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun darinya. Orang-orang yang berperang juga diperintahkan shalat, meski dalam situasi yang genting dan rawan. Semua itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada waktunya. Sekiranya di sana ada rukhsah, tentunya mereka akan menundanya, agar mereka dapat mengerjakannya lengkap degan syarat dan rukun-rukunnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.


G.  Ibnu Taimiyah: Tidak wajib qadha bg yg sengaja meninggalkan shalat
Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini disampaikan di dalam ‘Al-Ikhiyarat’. Dia berkata, “Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyari’atkan qadha’ bagi dirinya dan tidak sah qadha’nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu’. Ini juga merupakan pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan Asy-Syafi’i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam kitabnya, ‘Ar-Raudhatun Nadiyyah’.
H.  Qadha tidak wajib bagi yg haid
Sholat yang ditinggalkan karena Haid tidak wajib diqadla. Definisi Ada’ adalah menjalankan ibadah di dalam waktunya. Sedangkan Qadla adalah menjalankan ibadah setelah lewat waktunya.
Para ulama sepakat bahwa barang siapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menqadha'nya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran. Sedangkan wanita haid dan nifas tidak wajib mengqadha’nya walaupun waktunya luas. Sebab kewajiban shalat gugur dari mereka. Mereka, jika tidak wajib mengerjakan secara tepat waktu maka tidak wajib pula mengerjakan secara qadha'. Dan terdapat perselisihan pendapat tentang kewajiban qadha' atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
Mazhab Hanafi mengatakan: Wajib qadha' atas orang yang hilang akalnya karena benda yang memabukkan yang diharamkan seperti arak dan seterusnya. Sedangkan orang yang hilang akal karena ping¬san atau gila, maka kewajiban qadha' itu menjadi gugur dengan dua syarat:            Pertama: Pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih dari lima kali waktu shalat. Sedangkan kalau hanya lima kali shalat atau kurang dari itu, maka wajib qadha' atasnya.                                                       
Kedua: Tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat: Kalau ia sadar dan belum shalat, maka wajib qadha' atasnya.
Maliki: Orang gila dan pingsan wajib qadha'. Sedangkan orang yang mabuk, apabila itu disebabkan oleh barang haram maka ia wajib qadha', dan jika disebabkan oleh barang halal, seperti orang yang minum susu asam lalu mabuk, maka tidak wajib qadha atasnya.
Hambali: Orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram wajib qadha, sedangkan orang gila tidak wajib.
Syafi'i: Orang gila tidak wajib qadha apabila gilanya itu menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari), begitu pula orang yang pingsan dan orang yang mabuk jika pingsan dan mabuknya itu bukan disebabkan oleh minuman keras yang diharamkan. Kalau tidak demikian maka wajib qadha atasnya.
Imamiyah: Orang yang mabuk karena minuman-minuman keras yang diharamkan, wajib qadha' secara mudak, baik ia meminumnya dengan sadar atau tidak sadar, terpaksa atau dipaksa. Sedangkan orang gila dan orang pingsan, tidak wajib qadha atas mereka.
I.  Cara Mengqadha Shalat
Hanafi dan Imamiyah: Orang yang ketinggalan shalat fardhu, ia wajib mengqadha' sesuai dengan yang ditinggalkannya itu tanpa mengubah dan menggantinya. Misalnya: Seseorang terhutang shalat sempurna dan hendak mengqadha'nya, padahal ia berada dalam perjalanan, maka ia mengqadha'nya dengan sempurna pula. Dan orang yang terhutang shalat qashar, dan hendak mengqadha'nya, padahal ia tidak dalam perjalanan, maka ia menqadha'nya. dengan Qashar. Begitu pula dengan shalat Jahr (yang disuarakan dengan ke¬ras) atau shalat ikhfat (yang disuarakan pelan). Jika ia mengqadha' shalat Isya' dan Maghrib di waktu siang, maka hendaklah dilakukannya dengan suara Jahr, dan kalau ia mengqadha' shalat Dzuhur dan Ashar di waktu malam, maka hendaklah dilakukannya dengan suara ikhfat.

Hambali dan Syafi'i: Barang siapa hendak mengqadha' Shalat Qashar yang terhutang atasnya, maka kalau ia berada dalam perjala¬nan di qadha’nya dengan qashar sebagaimana yang ditinggalkannya. Sedangkan kalau ia tidak dalam perjalanan, maka shalat qashar itu wajib di qadha dengan sempurna. Ini berkaitan dengan jumlah rakaat, sedangkan yang berkaitan dengan sir (suara pelan) dan jahr (suara keras) maka Syafi'i mengatakan: Orang yang mengqadha' shalat Dzuhur di waktu malam, ia wajib melakukannya dengan suara jahr (keras), dan orang yang mengqadha' shalat Maghrib di waktu siang, ia wajib melakukannya dengan suara pelan.
Hambali mengatakan: Bacaan dalam shalat qadha' harus dengan suara pelan secara mutlak, baik shalat itu adalah shalat sir atau shalat jahr, baik diqadha'nya pada waktu malam atau pun di waktu siang, kecuali jika ia menjadi Imam dan shalat itu shalat Jahr, dan diqadha nya di waklu malam.
Para ulama sepakat selain para ulama Syafi'i atas wajibnya tertib dalam melakukan qadha' shalat-shalat yang tertinggal. Shalat yang terdahulu harus di-qadha' lebih dahulu dari pada yang belakangan. Kalau ia tertinggal shalat Magrib dan Isya', maka ia harus meng-qadha' shalat Maghrib lebih dahulu, baru Isya', seperti halnya dalaa shalat pada waktunya.
Syafi'i mengatakan: Tertib antara shalat yang tertinggal itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Orang yang mengqadha' shalat Isya lebih dahulu, kemudian baru melakukan shalat Maghrib, shalatnya tetap sah.
Barangsiapa tertinggal mengerjakan Shalat, maka wajib mengqadhanya sesuai dengan cara dan sifat-sifat Shalat yang tertinggal itu. Jika seorang musafir yang menempuh jarak qashar tertinggal Shalat yang empat rakaat, ia mengqadhanya dua rakaat, sekalipun dikerjakan di rumah. Tetapi, menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, dalam keadaan terakhir ini, ia mengqadhanya empat rakaat, sebab hukum asal Shalat adalah itmam (menyempurnakan Shalat empat rakaat). Karena itu, ketika di rumah, Shalat dengan itmamlah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, jika seorang mukmin tidak dalam perjalanan (di rumah) tertinggal Shalat yang empat rakaat, maka ia harus mengqadhanya empat rakaat pula sekalipun dikerjakan dalam perjalanan. Demikian juga, jika ia tertinggal Shalat sirriyyah (yang bacaannya pelan) seperti Dzuhur, maka di waktu mengqadhanya harus secara sirri pula, sekalipun dikerjakan di malam hari. Sebalikmya, jika ia tertinggal Shalat Jahrriyyah (yang bacaannya keras) seperti Shalat Subuh, maka mengqadhanya pun harus keras pula, sekalipun dikerjakan di siang hari. Akan tetapi, menurut ulama Syafi’i yang menjadi patokan adalah waktu di mana qadha itu dilaksanakan. Jadi, seandainya qadha itu dilaksanakan pada malam hari, maka bacaannya harus dikeraskan, sekalipun yang diqadha itu Shalat sirriyyah. Dan sebaliknya, jika di siang hari maka bacaan Shalat harus dipelankan walaupun yang diqadhanya itu Shalat jahriyyah.
Dalam mengqadha Shalat yang tertinggal (Shalat faa’itah) hendaknya diperhatikan tertib urutannya satu dengan yang lain. Qadha Shalat Subuh dikerjakan sebelum qadha Dzuhur, dan qadha Dzuhur sebelum Shalat Ashar. Di samping itu, hendaklah diperhatikan pula urutan Shalat faa’itah dengan Shalat pada waktunya (Shalat haadhirah). Maka, apabila Shalat faa’itah itu kurang dari lima waktu atau hanya lima waktu, Shalat haadhirah tidak boleh dikerjakan dulu sebelum Shalat faa’itah dikerjakan dengan tertib, selama tidak dikhawatirkan habisnya waktu Shalat haadhirah.
Dari Ibnu Mas’ud berkata, “Ketika Perang Khandaq kaum musyrikin terlalu menyibukkan Rasulullah sampai-sampai empat Shalat tertinggal, dan waktu pun telah larut malam sejalan dengan kehendak Allah. Kemudian, beliau menyuruh Bilal untuk menyerukan azan. Bilal pun menyerukannya lalu membacakan iqamah, maka beliau Shalat Dzuhur, lalu berdiri lagi dan mengerjakan Ashar, berdiri lagi mengerjakan Shalat Maghrib, kemudian berdiri lagi untuk mengerjakan Shalat Isya’.” (HR Tirmidzi dan Nasa’i. Peristiwa ini terjadi sebelum ada perintah Shalat Khauf).
Ulama Hanafi berpendapat, jika seseorang setelah mengerjakan Shalat haadhirah teringat akan Shalat faa’itah yang belum dikerjakannya, batallah Shalat haadhirahnya. Orang itu harus mengerjakan Shalat faa’itah dulu dan setelah itu mengulangi Shalat haadhirah. Namun, menurut ulama yang lain, ia tidak harus mengulangi Shalat haadhirah. Sedang menurut ulama Maliki, sunnah mengulangi lagi Shalat haadhirah setelah mengerjakan faa’itah.
Jika Shalat faa’itah itu enam waktu atau lebih, maka dalam mengerjakannya tidah harus tertib, boleh dikerjakan sebelum Shalat haadhirah ataupun sesudahnya.
Mengqadha Shalat boleh dilakukan setiap saat, kecuali pada tiga waktu yang dilarang Shalat, yaitu ketika matahari terbit, matahari berada tepat di tengah langit (waktu istiwa’), dan ketika matahari terbenam. Juga dalam satu waktu boleh mengqadha beberapa Shalat yang tertinggal, sebab pengertian qadha adalah melakukan Shalat yang telah lewat waktunya.
Mengqadha Shalat wajib dilakukan dengan segera, baik Shalat itu tertinggal karena sesuatu uzur yang tidak menggugurkan kewajibannya ataupun tanpa uzur sama sekali, dan qadha ini tidak boleh ditunda-tunda kecuali ada halangan mendesak seperti bekerja untuk mencari rezeki dan menuntut ilmu yang wajib ‘ain baginya, begitu juga makan dan tidur. Dengan hanya mengqadha Shalat bukan berarti seseorang telah bebas dari dosa (karena menunda Shalat tanpa uzur), tetapi ia masih harus bertaubat, sebagaimana taubat tidak bisa menggugurkan kewajiban Shalat, namun harus disertai mengqadha pula. Hal ini karena salah satu syarat bertaubat adalah menghilangkan perbuatan dosa, sedang orang yang bertaubat tanpa mengqadha belum berarti ia telah menghilangkan perbuatan dosa tersebut.\
Barangsiapa tertinggal sejumlah Shalat, tetapi ia lupa atau tidak tahu persis berapa jumlahnya, maka ia harus mengerjakan qadha sampai merasa yakin bahwa kewajibannya telah terpenuhi.


Perwakilan Dalam Ibadah
Seluruh ulama sepakat bahwa mewakili orang dalam puasa dan shalat dari orang yang hidup tidak sah sama sekali, baik orang yang diwakili itu mampu (melakukan ibadah tadi) ataupun tidak mampu.
Imamiyah mengatakan: Sah mewakili orang yang sudah meninggal dalam ibadah puasa dan shalat.
Empat mazhab mengatakan: Tidak sah menggantikannya orang yang sudah meninggal sebagaimana tidak sah menggantikan orang hidup.
Empat mazhab sepakat: Mewakili orang lain dalam ibadah haji dari orang yang hidup hukumnya ja'iz (boleh), apabila orang yang diwakili itu tidak mampu melaksanakannya sendiri. Dan boleh pula mewakili orang yang sudah meninggal, selain dari ulama Maliki, mereka mengatakan: Tidak ada atsar (hadis) bagi perwakilan dari orang hidup dan tidak juga dari orang yang sudah meninggal.
Imamiyah dalam hal ini mempunyai pendapat sendiri, berbeda dari mazhab-mazhab lainnya, yaitu: Mereka mewajibkan atas seorang anak mengqadha' shalat dan puasa yang ditinggalkan oleh ayah me¬reka, tetapi ia antara mereka sendiri terdapat perselisihan pendapat, ada yang mengatakan bahwa si anak tadi wajib mengqadha' semua yang ditinggalkan oleh ayahnya sekalipun dengan sengaja. Dan ada pula yang mengatakan, si anak hanya wajib menqadha apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya yang disebabkan oleh halangan sakit atau yang sejenisnya. Dan yang lain mengatakan, si anak tidak wajib mengqadha' apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya kecuali yang ditinggalkannya dalam sakit yang membawa kematiannya. Dan sebagian mereka mengatakan, si anak wajib pula mengqadha' apa-apa yang ditinggalkannya oleh ibunya, sebagaimana ia wajib meng-qadha’' apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya tersebut.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sholat Qodho' (Sholat pengganti)Para Ulama Mazhab(Hanafi, Maliki, Hambali, Syafi'i dan Imamiyah) terdapat perselisihan atas orang gila, pingsan, dan orang mabuk.
1. Mazhab Hanafi mengatakan Wajib qodho' atas orang yg hilang akal karena benda memabukan yg diharamkan seperti arak dan seterusnya.Sedangkan orang hilang akal karena pingsan atauu gila kewajiban qhodo' gugur dgn syarat :
- Pertama gila atau pingsan berlangsung terus lebih dari lima kali waktu shalat, sedangkan kalau hanya lima kali sholat atau kurang dari itu maka wajib qodho'
- Kedua Tidak sadar selama pingsan atau gilanya itu pada waktu sholat:kalau ia sadar dan belum sholat, maka wajib qodho' atasnya.
2. Mazhab Maliki: Orang gila dan pingsan Wajib Qodho',sedang org yg mabuk apabila disebabkan oleh barang haram maka ia wajib qodho',jika disebabkan oleh barang halal seperti orang minum susu lalu mabuk, maka tidak wajib qodho' atasnya.
3. Mazhab Hambali : Orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram wajib qodho' sedangkan orang gila tidak wajib.
4. Mazhab Syafi'i : Orang Gila tidak wajib qodho' apabila gilanya itu menghabiskan seluruh waktu shalat(dalam satu hari), begitu pula pada orang pingsan dan org yg mabuk jika pingsan dan mabuknya itu disebabkan minuman keras yg diharamkan. kalau tidak demikian maka wajib qodho' atasnya.
5. Mazhab Imamiyah(Syiah) : Orang mabuk karena minuman keras yg diharamkan wajib qodho secara mutlak, baik ia meminumnya dengan sadar atau tidak sadar, terpaksa atau tidakter paksa. Sedangkan orang gila dan pingsan tidak Wajib qodho atas mereka.

B.  Kritik Dan Saran
Agar dimasa yang akan datang bisa jauh lebih baik lagi, kita harus lebih banyak belajar dan terus melatih ilmu yang kita peroleh. Kami sadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalam segi penulisan maupun susunan kalimatnya. Maka dari itu, sangatlah dibutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Agar penulisan makalah dilain kesempatan bisa jauh lebih baik lagi. Pesan kami jangan pernah berhenti untuk belajar, karena kunci kesuksesan adalah dengan cara belajar dan terus berusaha.
DAFTAR PUSTAKA

  • Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah, t.p., t.tp
  • Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta
  • Hakim, Abdul Hamid,1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Sa’adiyah Putera, Jakarta
  • Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta
  • Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta
  • Uman, Cholil, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya
  • Zallum, Abdul Qadim, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, Al-Izzah, Bangil
  • Zuhdi, Masjfuk, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta

3 komentar:

Sriwedari mengatakan...

Assalamu'alikum wr.wb
saya memerlukkan tulisan ini,baikutk saya pribadi maupun utk bahan pelajaran di sekolah dan Pondok. Mohon ijinnya utk menggunakan hasil tulisan saudara. terima kasih. Wassalam..

Sriwedari mengatakan...

Assalamu'alaikum wr.wb
Saya memerlukan tulisan ini utk bahan pelajaran bagi saya pribadi. mohon ijin utk Share. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr.wb

Mihalul Abrar mengatakan...

boleh,... silahkan ambil manfaat dari blog saya,....

BATIK ACEH MENUSANTARA

 Walaupun aceh tidak terkenal dengan  batiknya, namun siapa sangka bahwa batik motif aceh yang di design oleh Mihalul Abrar dengan mengkombi...